Sabtu, 27 April 2013

Permasalahan Pendidikan Ekonomi di Indonesia

Pendidikan ekonomi di Indonesia masih memerlukan pembenahan baik dari sisi UU maupun pada tataran pelaksanaan di lapangan / di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun perguruan tinggi.  Jika pemerintah berkomitmen dengan masalah pendidikan , maka pendidikan harus mendapatkan prioritas dalam pembangunan  bangsa, karena pendidikan merupakan pembangunan fundamental untuk mengembangkan sumber daya manusia. Dimana sumber daya manusia ini merupakan sebagai salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Anggaran pendidikan memang besar ( 20 % )dari APBN dan tahun 2011 senilai Rp 50,3 trilliun. Angka ini turun bila dibandingkan dengan tahun 2010 senilai lebih Rp 60 trilliun ( http://www.detiknews.com/read/2010/08/17/130915/1421878/10/m-nuh-anggaran-pendidikan-2011-tetap-20-dari-apbn ).

Banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan, keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia ini akan berdampak pada kualitas sumber daya bangsa yang dituntut mampu bersaing dalam percaturan dunia yang semakin global. Era globalisasi merupakan masa dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehubungan dengan masalah globalisasi menuntut kemampuan sumber daya yang memadai atau mampu untuk menghadapi tantangan zaman yang penuh persaingan.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), dan sampai tahun 2004 HDI Indonesia tetap menduduki urutan di atas 100 yaitu urutan ke 111 dari 175 negara. Terlepas sadar atau tidak, kondisi sumber daya manusia yang ada merupakan hasil dari sistem dan mekanisme pendidikan yang ada di Indonesia

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.   (http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/ )

Fenomena lain adalah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen [www.bps.go.id], sedangkan angka pengangguran di Indonesia 9,43 Juta Orang (8,46 persen)..  (TEMPO Interaktif  ,Senin  05 Januari 2009 ). Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan yang ada di Indonesia tidak lepas dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya adalah pendidikan ekonmi. Sehubungan keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai akibat sistem pendidikan ekonomi Indonesia, khususnya berkaitan dengan content materi ajar pendidikan ekonomi yang diberikan pada pendidikan menengah dan perguruan tinggi.

Identifikasi terkait dengan masalah pendidikan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa ini adalah :
Masalah paradigma.

Paradikma pendidikan ekonomi di Indonesia diwarnai dan di rasuki oleh pradikma pemikiran neoliberal. Hal ini tampak dengan adanya anggapan wajar adanya persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan dalam dunia bi
snis. Banyak pula fenomena yang dapat kita lihat dan dianggap wajar; Adanya penggusuran orang – orang miskin untuk pembangunan rumah mewah , hotel berbintang, atau super market dan hypermarket, serta pembangunan lain yang memberikan keuntungan para pemilik modal klas dunia/kapitalis, dan mengabaikan dan bahkan menggusur pelaku ekonomi lemah atau yang lebih dikenal dengan pelaku ekonomi sektor informal.

Pemikiran yang mendasari kebijakan seperti yang sering rasakan dan dapat kita lihat dikarenakan oleh kebijakan tidak berpijak pada UUD ’45 pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 khususnya ayat  1, yang mana segala aktifitas ekonomi diukur dengan efeisiensi/keuntungan dan atau mekanisme pasar,  dan bukannya ekonomi yang berkeadilan sosial.

Kondisi perekonomian yang diserahkan pada mekanisme pasar – efisiensi pasar, serta pemerintah yang kurang dan atau mengurangi perannya untuk mengatur dan mengendalikan pasar, sehingga dapatlah dipahami bahwa semua kondisi perekonomian  ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar yang dikuasai para kapitalis.

Paradikma ini jelas tidak sesuai dengan pasal 33 ayat 1 UUD ’45, dimana perekonomian  disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

Kekeluargaan — dan bukannya di serahkan pada mekanisme pasar seperti yang dapat kita amati seperti sekarang ini. Paradikma tersebut juga bertentangan dengan Pancasila yang menjunjung tinggi nilai – nilai gotong royong dan nilai – nilai sosial, yang merupakan sifat asli dan jati diri bangsa Indonesia.
 
Masalah orientasi pendidikan ekonomi

Hingga saat ini yang diajarkan di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi, pendidikan ekonomi yang diajarkan masih didominasi pada orientasi  ke pasar tenaga kerja ( pasar Input ), dan bukannya pasar output atau berorientasi pada penciptaan / menghasilkan barang / jasa. Sehingga tak ayal lagi output dunia pendidikan yang ada setelah kembali ke masyarakat menjadi orang yang berstatus pencari kerja ( job seeker ) dan bukannya pencipta lapangan kerja ( job creator ). Harapan menjadikan alumni lembaga pendidikan menjadi job creator memang ideal, tetapi bukannya tidak dapat diwujudkan jikalau ada komitmen dari Pemerintah dan masyarakat serta dibarengi dengan restrukturisasi di bidang pendidikan termasuk anggaran pendidikan. Penulis juga sadar bahwasanya menjadi job seeker bukannya suatu jalan pikiran yang naif alias tidak bermartabat, tetapi akan menjadikan masalah besar seperti yang kita rasakan seperti saat ini dengan sulitnya mencari pekerjaan dan lowongan kerja, atau adanya ketidak seimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi/industri sebagai penyerap tenaga kerja. Kedua kalinya penulis juga sangat sadar, bahwasanya di dalam kurikulum perguruan tinggi ada yang namanya mata kuliah kewirausahaan. Namun menurut pandangan penulis tingkat keberhasilannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena kompetensi kewirausahaan yang dimiliki oleh mahasiswa masih berada pada tataran cognitive dan belum menyentuh pada aspek perilaku dan ketrampilan berwirausaha yang aplikatif. Belum berhasilnya kompetensi alumni perguruan tinggi, khususnya terkait kompetensi kewirausahaan dikarenakan bayak faktor. Faktor tersebut antara lain sarana dan prasaran kewirausahaan yang kurang memadai, kualifikasi dan komitmen guru dan dosen, motivasi dan minat dari mahasiswa dsb.

Pemikiran diatas terkait dengan masalah kemampuan alumni perguruan tinggi untuk menjadi job creator , penulis tidak menutup mata adanya keberhasilan alumni perguruan tinggi yang menjadi wirausahawan handal dan berhasil. Namun kalau dihitung prosentasenya, walaupun tidak melalui penelitian penulis yakin prosentasenya sangat – sangat rendah.

Pemikiran inilah menurut penulis katakan sebagai salah satu masalah yang dihadapi oleh pendidikan ekonomi secara nasional, dan sebagai salah satu pemikiran alternatif untuk menekan angka pengangguran yang masih relatif tinggi.

Sumber : http://ekonomi.stkippgritulungagung.ac.id/?page_id=40